BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Pada akhir-akhir ini, Sumatera Utara memperlihatkan perkembangan yang sangat pesat, terutama kota Medan sebagai ibukota propinsi yang merupakan pusat pemerintahan , perdagangan , perindustrian , transportasi , pendidikan dan kebudayaan. Disamping itu Medan juga merupakan Pusat Wilayah Pengembangan utama di Indonesia Bagian Barat yang daerah pengembangannya meliputi propinsi-propinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Riau. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi serta perkembangan di berbagai bidang seperti disebut sebelumnya telah pula meningkatkan pembangunan di bidang penyediaan berbagai sarana , seperti pemukiman , perkantoran , kawasan industri , sarana transport dan lain-lain yang kesemuanya memerlukan pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia di daerah ini . Untuk itu pemberdayaan sumberdaya alam dalam bentuk sumber daya mineral yang ada di daerah ini harus betul-betul dimanfaatkan sesuai dengan prinsip-prinsip konservasi agar mampu memberikan manfaat secara optimal bagi masyarakat dengan tetap memelihara kelestarian lingkungan hidup. Seiring dengan meningkatnya laju pembangunan seperti telah dikemukakan sebelumnya, telah pula meningkatkan kebutuhan akan bahan-bahan bangunan/konstruksi seperti pasir, batuguling, batu belah, batu gamping, tanah urug dan lain-lain. Disatu pihak kebutuhan ini akan memberikan dampak-dampak positif seperti bertambahnya lapangan kerja, peningkatan laju roda perekonomian dan pembangunan, tetapi jika tidak dikelola dengan baik dan benar, di lain pihak akan menimbulkan dampak-dampak negatif terhadap lingkungan hidup setempat maupun terhadap lingkungan hidup dalam cakupan wilayah yang lebih luas. Dampak negatif yang sangat mungkin timbul yang diakibatkan oleh eksploitasi sumber daya mineral yang dilaksanakan tidak dengan baik dan benar antara lain meningkatnya erosi dan terjadinya gerakan tanah, hilangnya sumber-sumber air dan terganggu/rusaknya tanah pucuk yang subur.
1.2. Maksud dan Tujuan.
Pemetaan geologi teknik ini dimaksudkan untuk memahami berbagai faktor penunjang maupun pembatas yang ada di daerah yang mengandung bahan-bahan galian golongan C ditinjau dari aspek geologi lingkungan . Dari hasil pemetaan ini dapat diketahui lokasi-lokasi bahan galian golongan C yang layak untuk dieksploitasi dengan berpedoman pada prinsip-prinsip konservasi. Pemetaan geologi teknik pada TA 1999/2000 ini dilakukan di daerah Uruk Mendem dan sekitarnya yang berdasarkan penelitian sebelumnya diketahui terdapat bahan galian golongan C.
1.3. Metoda.
Metoda yang digunakan dalam melaksanakan pekerjaan ini adalah :
- Studi Kepustakaan | : | 1. | Pengumpulan data dari penelitian-penelitian sebelumnya. |
- Persiapan | : | 1. | Pengadaan Peta Topografi, Peta Geologi dan peta-peta lain yang menunjang. |
2. | Pengadaan peralatan survey. | ||
- Identifikasi Lapangan | : | Terutama di fokus pada tempat-tempat yang mengandung bahan galian golongan C. | |
- Penyusunan Laporan |
1.4. Penyelidikan Sebelumnya.
Keadaan geologi regional Medan dan sekitarnya pernah diselidiki oleh van Bemmelan (1949). Keadaan geologi lembar Medan yang paling akhir di teliti oleh Cameron dkk (1980) yang kemudian dipresentasikan dalam bentuk Peta Geologi Lembar Medan berskala 1 : 250.000.
1.5. Letak, Luas dan Kesampaian Daerah.
a. | Letak Daerah Pemetaan : Secara geografis daerah pemetaan terletak pada koordinat 98 derajat 38' 00" BT dan 3 derajat 13' 00" LU. Dalam pembagian wilayah administratif, maka daerah pemetaan terletak dalam 3 (tiga) wilayah Kecamatan, yaitu : |
* | Kecamatan Sibiru-biru, meliputi luas +/- 15% pada bagian tengah dan timur laut. Desa-desa yang termasuk didalamnya yaitu, Desa Paria-ria, Penen, Medinding Kenjulu, Medinding Kenjahe, Lau Sigayu serta Laja. | |
* | Kecamatan Sibolangit, meliputi luas +/- 50%, pada bagian utara, tenggara, barat laut, desa-desa yang termasuk didalamnya adalah : Rumah Kinagkong, Salabulan, Pangaraji, Buluhawar, Bekusah Kenjahe, Bekusah Kenjulu, Kota Bungkai Kenjahe, Kota Bungkai Kenjulu, Sukamaju, Batu Sanggahen, Pager Batu, Besukum/Cinta Rakyat, Negeri Suah dan Negeri Gugung. | |
* | Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hilir (STM Hilir). Meliputi luas +/- 32% pada bagian selatan, tenggara dan timur. Desa-desa yang termasuk didalamnya ialah : Desa Pernangenan Dusun Pamah. Pada bagian Selatan, seluas +/- 3% , daerah pemetaan termasuk dalam wilayah Kabupaten Karo. Daerah pemetaan terletak +/- 50 km dari kota Medan ke arah selatan atau 13 km dari Sibolangit/Bandar Baru ke arah timur. |
b. | Luas Daerah Pemetaan : Daerah Pemetaan barbentuk 4 (empat) persegi panjang dengan luas 12 km x 8 km atau seluas 96 km2. |
c. | Kesampaian Daerah : Daerah Pemetaan dapat dicapai melalui 3 (tiga) jalan masuk,yaitu : jalan Bukum di daerah Bandar Baru/Sibolangit, jalan masuk melalui Desa Batu Layang/Pasar Baru di Sibolangit serta melalui Desa Panen , Kecamatan Sibiru-biru di timur laut. Kondisi permukaan jalan di daerah Pemetaan dapat dibagi dalam 3 (tiga) bagian yaitu : * Jalan Aspal * Jalan Tanah Keras dan Berbatu * Jalan Setapak Jalan aspal pada bagian Barat Daerah Pemetaan, meliputi Desa Suka Maju dan Batu Sanggehen umumnya baik, antara Batu Sanggehen sampai jembatan Sungai Seruai, jalan aspal sangat rusak, berlubang dan terkelupas akibat erosi dan kikisan air permukaan. Jalan aspal pada bagian timur laut, umumnya sangat baik, yaitu dari Panen sampai Desa Medinding Kenjulu. Jalan-jalan tanah keras dan berbatu, terdapat pada daerah Rumah Kinangkong, Buluhawar, Bekusah, Pager Batu, Besukum, Lau Sigayu, dan Panah, umumnya jalan tanah keras dan berbatu memiliki topografi dengan kemiringan lereng 20 derajat s/d 35 derajat dengan tebing-tebing terjal pada sisi kiri kanannya. Jalan-jalan setapak, umumnya berasal dari jalan tanah keras yang terawat dan jarang dilewati oleh Penduduk, Meliputi daerah Negeri Suah, Negeri Gugung, Laja dan Pagaraji serta Namo Cengkeh. Untuk mencapai lokasi Pemetaan, dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan bernotor roda dua dan empat. Daerah-daerah yang dapat dicapai dengan kendaraan roda dua dan empat (mobil) adalah : Sukamaju, Batusanggehen, Rumah Kinangkong, Buluhawar, Penen, Panah, Kota Tinggi, Medinding Kenjulu, Medinding Kenjahe, dan Pager Batu (dari arah Penen). Daerah-daerah yang hanya dapat dilalui dengan berjalan kaki adalah : Laja, Pagaraji, Negeri Suah, Negeri Gugung, Besukum, Lau Pulo dan Lau Sigayu. Untuk mencapai Uruk Mendem dengan kendaraan roda empat lintasan jalan yang terbaik ialah melalui Penen - Kota Tinggi - Medinding Kenjulu (jalan aspal mulus). Kemudian malalui jalan tanah keras berbatu sejauh +\- 2,5 km sampai kaki Uruk Mendem di Desa Pagar Batu. Sarana komunikasi dan akomodasi seperti telepon interlokal, Kantor Pos, Balai Pengobatan/Puskesmas dan penginapan tersedia dengan sangat baik pada daerah Bandar Baru, Kecamatan Sibolangit, sekitar 13 km ke arah Barat dari daerah pemetaan. |
1.6. Keadaan Masyarakat.
Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat setempat sangat berhubungan dengan keadaan geografi daerah pemetaan. Dengan kondisi geografi daerah pemetaan, pegunungan dan hutan tropis, maka kebanyakan masyarakat bekerja sebagai petani sawah dan pekebun, sebagian kecil pedagang. Pertanian sawah umumnya pada daerah akumulasi endapan alluvial, seperti pada daerah tepi sungai ( dataran banjir ) dan daerah-daerah dengan kemiringan lereng yang rendah. Hasil-hasil pertanian meliputi padi, kemiri, durian, kayu manis, getah karet dan jengkol . Secara etnis dan budaya, maka sebagian besar masyarakat ( 90% ) adalah Suku Karo, sedangkan sekitar 10 % adalah dari berbagai suku seperti Toba ( dominan ) , Jawa , Melayu dan Mandailing.
1.7. Keadaan Masyarakat.
Selama melakukan pemetaan , pangkalan kerja utama adalah Bumi Perkemahan Sibolangit , sedang pangkalan kerja tambahan dilakukan dengan sistem "Fly Camp" , yaitu Desa Pager Batu dan Desa Penen.
1.8. Keadaan Masyarakat.
Perlengkapan Lapangan :
1. | Kompas Geologi, type Brunton. |
2. | Palu Geologi. |
3. | Peta Geologi Regional Lembar Medan, 1982, P3G. Bandung. |
4. | Peta Topografi Lembar Pancur Batu , 0619-33 dan lembar Kaban Jahe 0619-31 Jan Top TNI-AD. |
5. | Larutan HCl 0,1 N 100 ml. |
6. | Kamera. |
7. | Tali ukur 30 meter. |
8. | Hand Loupe. |
9. | Kantong Sample. |
BAB II
GEOMORFOLOGI
II. KEADAAN UMUM
II.1. Geomorfologi Regional
Secara regional menurut NR, Camerooon, et.al.1982, bentang alam daerah pemetaan merupakan bagian dari daratan tinggi Berastagi ( Berastagi High Lands ) yang disebelah selatannya berbatasan dengan dataran tinggi Kabanjahe ( Kabanjahe Plateau ).
Dataran tinggi Berastagi ( Berastagi High Lands ), umumnya dibentuk oleh adanya pengangkatan-pengangkatan (orogenesa) disusul dengan proses-proses vulkanik berupa erupsi Gunung Api Kwarter yang lebih bersifat effusif , yang menghasilkan batuan-batuan gunung api lelehan seperti : andesit, dasit, lahar, agglomerate, breksi vulkanik dll. Aktifitas vulkanik berasal dari Gunung Sibayak , Deleng Barus, Deleng Takur-takur , Deleng Simbolon dan Gunung Sinabung.
II.2. Geomorfologi Daerah Pemetaan.
Bentang alam daerah pemetaan secara umum merupakan bagian dari Pegunungan Bukit Barisan Timur menurut pembagian RW Van Bemellen, 1949, atau merupakan bagian dari dataran tinggi Berastagi ( Berastagi High Lands ) menurut pembagian NR Cameroon, et, al. 1980.
Dari kenampakan di lapangan dapat diperkirakan bahwa daerah pemetaan telah mengalami gaya-gaya geologi yang cukup kuat. Hal ini tercermin dari bentuk morfologi yang cukup rumit dimana pengaruh gaya endogen (pengangkatan dan vulkanisme) serta gaya eksogen, berupa pelapukan dan erosi yang cukup intensif bekerja dalam pembentukan morfologi di daerah ini . Secara menyeluruh, daerah penelitian mempunyai ketinggian dari 325 meter sampai 1523 meter di atas permukaan laut.
Pembahasan geomorfologi daerah penelitian meliputi satuan morfologi, aliran sungai dan genetikanya, proses erosi dan proses geologi yang telah berlangsung selama pembentukan morfologi daerah penelitian.
2.1 Satuan Morfologi
Berdasarkan pada pengamatan pola kerapatan kontur pada peta topografi dan pengamatan langsung di lapangan , maka daerah penelitian dapat dikelompokkan dalam beberapa satuan morfologi yang mengacu pada klasifikasi satuan morfologi menurut Van Zuidam, 1985 yang mendasarkan pada kemiringan lereng dan adanya proses-proses geologi yang diakibatkan oleh tenaga oksigen pada suatu daerah. Selain itu juga didasarkan pada analisa lereng dan pola garis kontur pada peta topografi.a Berdasarkan klasifikasi tersebut, maka morfologi daerah penelitian dapat dibagi menjadi 2 (dua) satuan morfologi, yaitu :
a. Satuan Morfologi miring , kemiringan lereng 4 derajat - 8 derajat
b. Satuan Morfologi curam, kemiringan lereng 16 derajat - 35 derajat
a. Satuan Morfologi Miring
Satuan morfologi ini dicirikan oleh perbedaan ketinggian yang relatif sedang, dengan ketinggian tertinggi sekitar 550 meter (pada daerah Besukum dan Lau Pulo) dan ketinggian terendah 325 meter dpl (pada daerah panen).
Satuan morfologi ini memiliki kemiringan lereng antara 4 derajat - 8 derajat atau 7% - 15% . Pada peta topografi satuan ini dicirikan oleh pola garis kontur dengan kerapatan sedang. Luas satuan ini menepati 50 % dari luas daerah pemetaan, yang berada bagian utara, timur-timur laut sampai barat laut, meliputi daerah Penen dan Kotatinggi , Rumah Kinangkong, Buluhawar, Bekusah Kenjulu, Kota Bungkai , Batu Sanggahen/Sukamaju , Pagerbatu , Besukum , Lau Pulo dan Medinding Kenjulu sampai Pamah.
Satuan morfologi ini ditempati oleh batuan vulkanik berupa breksi andesit , tufa, agglomerat dasit, batuan sedimen klastik berbutir halus seperti batu lempeng, lanau, serpih, batu gamping serta endapan bahan rombokan sebagai endapan alluvial.
Terbentuknya satuan morfologi ini dipengaruhi oleh litologi dan proses pelapukan dan erosi yang berlangsung intensif. Proses-proses vulkanisme serta erupsi yang menghasilkan batuan beku lelehan menjadi faktor penting dalam pembentukan morfologi ini, disamping proses erosi dan pelapukan. Sebagian besar vegetasi di atas satuan morfologi ini merupakan vegetasi hutan tanaman keras dan tinggi yang sebagian dikelola dan diusahakan oleh masyarakat setempat, sebagian lagi merupakan tumbuhan rendah dan ilalang serta lahan persawahan penduduk. Tanaman Keras meliputi pepohonan hutan tropis basah seperti durian, jengkol, kemiri, karet, jati, kayu manis dll.
Pedesaan/pemukiman penduduk berada pada daerah yang lebih landai dengan tanah yang cukup tebal dan berada di sekitar sumber-sumber air terutama pada tepi aliran sungai. Sungai utama yang mengalir pada satuan ini adalah Lau Jabi, Lau Seruai, Lau Bukum dan Lau Petani yang mengalir ke utara serta Lau Simai-mai yang mengalir ke timur. Sungai-sungai tersebut umumnya namanya berstadia muda dengan aliran cepat, jernih, lembah-lembah yagn curam berbentuk V dengan torehan tebing yang dalam serta erosi vertikal dominan. Material bongkah batuan pada aliran sungai cukup banyak dan berukuran besar.
b. Satuan Morfologi Curam
Satuan morfologi ini dicirikan oleh perbedaan ketinggian yang relatif cukup besar, dimana ketinggian tertinggi adalah 1.523 meter dpl pada puncak Daleng Takur-takur di Selatan dan ketinggian terendah sekitar 600 meter dpl pada desa Negeri Gugung dan Lau Sigayu.
Satuan morfologi ini memiliki kemiringan lereng antara 16 derajat sampai 35 derajat atau antara 30% - 70% . Pada peta topografi satuan ini dicirikan oleh pola kontur yang cukup rapat. Luas setahun ini 50% dari luas daerah pemetaan yang berada di bagian selatan, timur baratdaya meliputi daerah Deleng Takur-takur, Deleng Ketaruman, Namo Cengkeh dan Uruk Mendem serta Negeri Gugung. Satuan morfologi ini ditempati oleh batuan sedimen, batuan beku dalam dan batuan vulkanik meliputi batulempung, batupasir, lanau serpih dan mikrodiorit.
2.2. Pola Pengaliran.
Secara lokal pada pengaliran daerah pemetaan dapat dibedakan menjadi 2 ( dua ) pola pengaliran , yaitu pola pengaliran dendritik dan pola pengaliran sub-paralel. Pola pengaliran dendritik merupakan pola pengaliran berbentuk cabang dan ranting pohon, dengan arah aliran sungai yang tidak teratur dan tidak dikontrol struktur, dengan batuan yang umumnya berbutir halus-sedang dan seragam. Pada daerah pemetaan, sungai dan pola dendritik ini adalah Lau Jabi dan Lau Pager Batu dan sungai Betuki, umumnya merupakan sungai stadia muda dengan aliran yang cepat dan lembah-lembah dalam berbentuk V.
Pola pengaliran sub-paralel merupakan ubahan pola pengaliran paralel, dimana sungai utama dan cabang-cabangnya memiliki arah arus yang sejajar/searah. Sungai dengan pola demikian adalah sungai Lau Seruai, Lau Petani dan Simaimai.
BAB III
STRATIGRAFI
III.1. Stratigrafi Regional
1. | Mtk, Formasi Kualu, berumur Oligosen Akhir ; terdiri atas serpih hitam, dengan lapisan tipis batu pasir dan lanau. |
2. | Tob, Formasi Bruksah, berumur Oligosen Akhir ; terdiri atas batu pasir mikaan, basal konglomerat, batu lumpur minor. |
3. | Tlb, Formasi Bampo, berumur Oligosen Akhir-Miosen Awal ; terdiri atas batu lumpur hitam berpirit, nodule septarian, berlapisan tipis batu lanau dan batu pasir. |
4. | Tmpb, Formasi Peutu, Anggota Belumai, berumur Miosen Awal-Tengah ; terdiri atas batu pasir berglaukonit, batu lanau dan batu gamping terumbu. |
5. | Qtvk, Piroklastika Unit Takur-takur, berumur Plio-Plistosen ; terdiri atas andesit terpropilit dan dasit. |
6. | Qtvm, Piroklastika Unit Mentar, berumur Plio-Plistosen ; terdiri atas piroklastika pumice, andesitan, dasitan dan lahar. |
7. | Qtim, Mikrodiorit Mendem, Plio-Plistosen ; Terdiri atas mikro diorit porpiritik, terpropilit, piritan. |
8. | Qh, Endapan Aluvia, Holosen. |
III.2. Stratigrafi Daerah Penelitian
Berdasarkan hasil pengamatan lepangan selama penelitian serta deskripsi contoh batuan yang didapatkan serta mewakili, maka urutan-urutan batuan yang tersingkap di lapangan dari berumur tua sampai berumur muda adalah sebagai berikut :
1. batulempung
2. batupasir
3. batulanau dan serpih
4. batugamping terumbu
5. andesit
6. tufa dan agglomerat
7. diorit
8. endapan aluvial
BAB IV
GEOLOGI TATA LINGKUNGAN
IV.1 Tinjauan Umum
Geologi tata lingkungan didefinisikan sebagai cabang geologi terapan yang menyangkut pemanfaatan bumi oleh manusia yang ada hubungannya dengan sumber kekayaan bumi serta proses-proses yang berlangsung padanya.
Geologi tata lingkungan memperlihatkan adanya reaksi terhadapa lingkungan yang mencakup sumber alam, proses alam dan pengembangan lingkungan fisik. Hal ini akan memberikan pengaruh terhadap manusia dan potensi geologi yang ada serta akan memberikan dampak positif maupun negarif kepada manusia.
IV.2 Potensi Gerakan Tanah
Morfologi daerah pemetaan umumnya miring sampai curam, pada beberapa temapt memiliki kemiringan lereng cukup sangat curam dan terjal seperti pada daerah Namo Cengkeh dan Uruk Mendem. Dengan kondisi topografi miring sampai curam, serta tingkat pelapukan batuan yang cukup kuat dengan soil yang tebal, dapat memicu terjadinya gerakan tanah, dalam hal ini berupa tanah longsor. Ketika dilakukan peninjauan lapangan, peristiwa-peristiwa gerakan tanah baik dalam ukuran kecil maupun ukuran luas jarang terjadi/terlihat, hal ini menunjukkan bahwa daerah pemetaan umumnya merupakan daerah yang stabil terhadap ancaman gerakan tanah. Faktor penting dalam hal ini adalah keadaan vegetasi/tanaman tinggi yang cukup rapat dan tumbuh dengan baik.
Pada beberapa lokasi yang diamati, umumnya peristiwa gerakan tanah yang terjadi dalam ukuran yang kecil dan tidak menimbulkan dampak sosial ekonomi yang cukup berarti bagi masyarakat setempat.
Beberapa titik lokasi terjadinya gerakan tanah adalah sbb :
1. | Pada tebing jalan batu senggehan dan jembatan Lau Seruai menuju Besukum. Tipe gerakan tanah ; debris fall (jatuhan masa tanah/bahan rombakan) terdiri atas tanah lapukan breksi andesit dan agglomerat , menutupi badan jalan sepanjang 3 meter dan lebar 1 meter . Bahan-bahan jatuhan berasal dari bagian atas tebing terjal (slope lk.75 derajat) dengan ketinggian 5 - 7 meter. |
2. | Pada daerah Medinding Kenjulu, gerakan tanah berupa rock fall, fragmen jatuhan terdiri atas bongkah diorit dengan sedikit tanah lapukannya, longgokan massa tanah dan batuan menutupi sebagian badan jalan beraspal dengan panjang 2,5 meter dan lebar 1 meter. |
3. | Pada daerah Lau Pulo, gerakan tanah terjadi pada dua lokasi berbeda, yaitu pada aliran sungai Lau Jabi dan jalan setapak antara Lau Pulo dan Nageri Suah. Tipe gerakan tanah adalah debris slide (longsoran tanah dan bahan rombakan) , materi longsoran berupa tanah lempung bercampur dengan fragmen batuan lempung yang melapuk berukuran berangkal. Tebing-tebing pada daerah longsoran berkisar 35 derajat sampai 45 derajat. |
Selain pada tempat-tempat yang telah mengalami peristiwa gerakan tanah, maka berdasarkan pemantauan terhadap kondisi lapangan ( vegetasi, palapukan batuan, tata alir air permukaan serta pengamatan terhadap kemiringan lereng ) maupun analisa pola kerapatan kontur pada peta topografi daerah pemetaan, maka daerah-daerah yang berpotensi mengalami gerakan tanah meliputi ;
- daerah sekitar Negeri Suah dan Negeri Gugung
- daerah Lau Sigayu , terutama pada kaki Uruk Mendem
- daerah sekitar Medinding Kenjulu , terutama pada kaki Uruk Mendem bagian utara.
IV.3 Potensi Bahan Galian
Sumber bahan galian yang dijumpai pada daerah pemetaan yang dinilai cukup potensial adalah diorit . Diorit adalah material yang cocok dipakai untuk fondasi bangunan teknik berskala sedang dan besar. Sifat-sifat material batuan ini sebagai bahan fondasi adalah sbb ;
- memiliki kekuatan yang cukup baik , daya tahan terhadap beban kuat dan menerus .
- memiliki kekerasan daya kerja
- memiliki tingkat keawetan dan ketahanan dalam jangka waktu lama.
Selain itu , sifat yang perlu sekali untuk diperhatikan adalah kesarangan atau porositas serta permeabilitas dari batuan. Dalam hal ini, porositas yang diharapkan untuk batuan sebagai fondasi bangunan teknik adalah bernilai kecil, yang berarti memiliki tingkat kelulusan air kecil ( nilai porositas 1 - 5 % dan permeabilitas 0,0003 - 0,003 m/hari ).
BAB V
DAMPAK NEGATIF PENAMBANGAN
V.1 Umum.
Penambangan bahan galian golongan C akan mengakibatkan perubahan-perubahan terhadap lingkungan fisik. Perubahan-perubahan ini dapat menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif. Hingga saat ini penambangan bahan galian golongan C dinilai terlalu banyak menimbulkan dampak negatif , kurang memperhatikan kesehatan dan keselamatan kerja serta kelestarian lingkungan . Hal ini disebabkan oleh karena harga bahan galian golongan C untuk setiap satuan volume memang sangat rendah sehingga untuk memperoleh keuntungan yang memadai para penambang harus mengeksploitasi bahan-bahan tersebut sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan lingkungan. Disamping itu memang bahan galian golongan C ini dibutuhkan dalam jumlah yang besar untuk menunjang pembangunan fisik.
V.2 Dampak Negatif.
Dampak negatif yang mungkin timbul akibat penambangan bahan galian golongan C perlu diperkirakan sebelum melakukan kegiatan penggalian karena akan berperan sebagai faktor pembatas. Bila faktor pembatas ini diabaikan, dapat dipastikan bahwa kegiatan penambangan yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, justru menimbulkan kerugian yang sangat besar akibat kerusakan lingkungan hidup di daerah bersangkutan.
- Penambangan batugamping
Penambangan batugamping di daerah Penen masih dilakukan dalam skala kecil dengan menggunakan peralatan sederhana yaitu martil, pahat, linggis dan cangkul. Hal ini dapat dilakukan karena kondisi tanah penutup yang tipis (kurang dari 1 meter) sehingga lapisan tanah ini tidak banyak menimbulkan masalah baik dalam pengupasan maupun penempatannya. Dampak negatif yang mungkin timbul akibat penambangan batu gamping ini antara lain adalah terbentuknya lereng penggalian yang terjal oleh karena para pekerja dalam melakukan penggalian hanya memanfaatkan tempat-tempat yang mempunyai rekahan-rekahan yang banyak sehingga penggalian lebih mudah. Tanpa disadari cara ini akan menimbulkan lereng-lereng terjal yang sangat membahayakan pekerja. Saran penanggulangan adalah dengan cara penggalian sistem berjenjang (benching) dengan tinggi lereng penggalian maksimum 4 m, agar tidak terjadi longsoran tebing yang terjadi akibat penggalian tersebut.
- Penambangan Diorit.
Sejauh ini belum dilakukan penambangan batuan diorit.
Metoda penambangan yang paling sesuai adalah metoda tambang terbuka dengan sistem kuari dengan peledakan. Oleh karena penambangan dengan metoda / sistem ini sangat teknis disarankan agar sebelumnya dilakukan penelitian yang lebih detail terhadap sifat-sifat fisik batuan diorit, antara lain rekahan-rekahan, sifat kuat tekan, kohesi dan berat isi. Sifat-sifat ini diperlukan baik dalam desain tambang maupun penggunaan bahan peledak.
BAB VI
ASPEK GEOLOGI TEKNIK
Untuk pembangunan di wilayah Medan dan sekitarnya termasuk untuk kebutuhan kota Medan diperlukan bahan bangunan yang cukup banyak . Bahan bangunan yang termasuk bahan galian golongan C yang terdapat di daerah pemetaan terdiri dari batugamping dan batuan diorit. Untuk menghindari atau setidak-tidaknya memperkecil dampak negatif yang mungkin timbul akibat adanya usaha pertambangan di daerah ini perlu ditentukan kelayakan penambangan atas dasar pertimbangan geologi teknik dan geologi lingkungan yang ada kaitannya dengan kegiatan penambangan.
Aspek geologi teknik dan geologi lingkungan perlu dipertimbangkan antara lain adalah :
a. | Lokasi penggalian tidak terletak pada hulu alur sungai. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari bahaya banjir , erosi dan pelumpuran atau pendangkalan dibagian hilir sungai. |
b. | Lokasi penggalian tidak di daerah imbuhan air tanah. |
c. | Lokasi penggalian tidak dilakukan pada lereng yang curam ( > 40 % ) agar tidak terjadi gerkan tanah. |
d. | Lokasi penggalian tidak terletak di daerah rawan gerakan tanah. |
e. | Sifat-sifat fisik Batuan. |
Berdasarkan keberadaan bahan galian yang terletak di daerah pemetaan dan pertimbangan dari aspek geologi teknik dan geologi lingkungan, maka batugamping dan batuan diorit terdapat di daerah ini layak untuk ditambang, dengan ketentuan-ketentuan :
a. | Untuk batugamping dilakukan dengan metoda tambang terbuka, menggunakan peralatan sederhana (tanpa peledakan) dengan sistem berjenjang. Ketinggian lereng galian maksimum 4 m. Penggalian ke arah bawah dibatasi tidak melebihi kedalaman permukaan air panas. |
b. | Untuk batuan diorit , penambangan dapat dilakukan pada satuan morfologi miring ( kemiringan lereng 4 derajat - 8 derajat ) dengan terlebih dahulu meneliti sifat-sifat fisik batuan di laboratorium. Penambangan dilakukan secara tambang terbuka sisitem kuari dengan peledakan harus sangat diperhatikan sifat dan arah rekahan batuan, disamping untuk memudahkan penggalian juga untuk keselamatan kerja. |
c. | Penambangan batuan diorit yang terdapat pada satuan morfologi curam dengan kemiringan lereng <> |
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
VII.1. Kesimpulan
a. | Di daerah pemetaan terdapat 2 (dua) jenis bahan galian yang cukup potensial untuk diusahakan yaitu batugamping dan batuan diorit. |
b. | Penggalian batugamping dapat dilakukan ( layak tambang ) dengan ketentuan-ketentuan seperti yang telah diuraikan sebelumnya. |
c. | Penggalian batuan diorit dapat dilakukan pada satuan morfologi miring dengan ketentuan-ketentuan seperti diuraikan sebelumnya. |
d. | Penggalian batuan diorit pada satuan morfologi curam hanya dapat dilakukan pada daerah dengan kemiringan <> |
VII.2. S a r a n
a. | Sebelum kegiatan penambangan, perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium, terutama terhadap batuan diorit. |
b. | Untuk mengantisipasi kemungkinan timbul dampak-dampak negatif perlu dilakukan studi analisis dampak lingkungan pada setiap rencana penambangan. |
Kondisi Jalan Raya yang sangat baik, lokasi Desa Medinding Kejulu. | Titik triangulasi, TT. 2303, pada puncak Uruk/Deleng Mendem. |
Ekpresi Morfologi Curam pada puncak Deleng/Uruk Mendem. Foto diambil dari Pamah kearah Barat Daya | Ekpresi Morfologi agak curam daerah penelitian, foto diambil dari Desa Panen ke arah Selatan. |
Singkapan batuan piroklastik (tufa), tersingkap pada tebing dipinggir jalan sekitar Panen. | Singkapan Breksi, terdiri dari fragmen batuan lempung, batupasir, diorit, andesit dengan masa dasar tufa. Lokasi sungai Simaimai, Dusun Pamah. |
Endapan aluvial hasil pengendapan aliran sungai, terdiri dari fragmen batuan berukuran pasir kasar s/d kerakal, pada beberapa tempat berukuran berangkal sampai bongkah, terutama bongkah diorit Lokasi Sungai Simaimai, Pamah. | Singkapan batulempung selang seling serpih, berlapis baik dengan strike/dip N 30 derajat E/13 derajat E. Tersingkap sangat baik pada lokasi Sungai Simaimai, Pamah. |
Singkapan tufa, tersingkap baik pada tebing jalan antara Pamah dan Medinding Kenjahe. | Singkapan diorit, dengan struktur columnar jointing lokasi pada kaki Deleng Mendem sekitar Desa Medinding Kenjulu. |
Bongkah-bongkah diorit, pada kaki Deleng Mendem lokasi sekitar Desa Pager Batu. | Singkapan batugamping terumbu (reef limestone), mengalir diatasnya sungai dari sumber-sumber mata air panas (hot spring) lokasi Desa Panen, Sibiru-biru. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar